Rabu, 28 Desember 2011

SASTRA

Oleh : Anwar 

Malam yang dipaksa untuk melek, sebuah malam yang terjaga tak berpenjaga. Sederet kehidupan yang ganjil diperagakan segelintir anak ingusan dibalik dinding-dinding lumutan. Mata mereka polos menembus jeruji-jeruji jendela yang tak berkaca. Anak-anak itu bebas memperagakan kebebasannya menjangkau sudut-sudut rumah itu. Rumah itu bagaikan “Disney Land” yang juga tak ubahnya seperti “Free Lands Kids” ala Herry Potter, nampak sebagai taman bermain yang tak bertuan.
Seorang anak yang berwajah kehitam-hitaman, memereh menggaet tulang punggungnya dari dipan-dipan empuk bermotif pudar oleh peluh. Betapa tidak, lantaran kehidupan yang tak berkemudi, siang berubah jadi malam dan malam berubah jadi siang.
Sebuah pemandangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi di tengah-tengah kesibukan kota dalam mengais kehidupan yang sebenarnya.
            Hanya anak itu yang memiliki karakter istimewa di antara anak-anak yang lain. Ketika anak itu beradu mulut “ Saya duluan!, “ Saya lebih tua!
Hei, idiot, Saya duluan karena saya lebih lama di sini! Tidak, bukan…..!
Saya duluan memegang ini!.
Persetan dengan konflik yang tak berkelas, anak itu melesat keluar, meluncur walaupun sekedar menyapa para tetangga. Dia tahu kehidupan di luar rumah cukup berarti.
            Rumah lumutan itu sengaja dipermak menjadi bangunan yang tiada hari tanpa pembenahan. Nampak dari dalam dan dari luar keadaan bangunan itu sengaja dibuat untuk mengetuk perasaan iba. Memancing uluran tangan dari orang berduit. Bangunan itu penuh dengan permainan bagaikan orang berjudi menuju kursi legislatif.
            Coba bayangkan, rumah itu tak pernah sepi dari uluran tangan. Tapi, mengapa rumah itu bagaikan tak berkepala. Saban hari seseorang berpenampilan elitis dengan mobil mewahya berkunjung ke rumah lumutan tersebut. Pada saat yang bersamaan seorang yang bertubuh tambun dan lebam keluar dari rumah tersebut. “Nggak salah pak, bukankah setahun yang lalu Bapak berjanji untuk membenahi rumah ini? Tapi, kok nggak ada perubahan sedikitpun? Tanya seseorang yang bersosok elitis tersebut.
            Dengan nada agak menanjak seseorang yang bertubuh tambun yang tidak lain adalah pengurus rumah itu berkilah “ Yang perlu Bapak tahu adalah orang menyumbang itu berurusan dengan keikhlasan, bukan mengungkit kembali, itu sudah tidak ikhlas namanya”. Dengan menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala Bapak yang tidak lain pendonor itu memanggil beberapa anak untuk diberikan sumbangan dalam beberapa lembar uang.
Melihat hal tersebut pengurus rumah itu mengangkat suara “Pak! Ini sudah tidak benar! Bapak menyumbang tidak melalui Saya sebagai penangung jawab!, apa yang ditahu anak-anak itu dalam mengelola uang, mereka masih ingusan”.
            Dengan suara yang datar dan cukup tenang sang bapak menjawab “Saya hanya ingin memberi dengan ikhlas, saya ingin mereka langsung menikmatinya. Apapun yang terjadi, pokoknya niat tulus saya sudah sampai ke tangan mereka. “pokoknya dari dulu saya bertekad ingin membantu anak yatim”.
*********
            Fajar kembali terhampar. Suara kemenangan mengangkasa menyambut asa menuju dewasa. Seperti biasa malam kembali dihabiskan hingga terlelap di waktu fajar. Sungguh ironi, anak-anak itu yang ditopang oleh tulang punggung yang masih ranum siangnya justru dijadikan sebagai malam. Mereka tidak dapat berdiri tegak menyambut suara kemenangan “ Hayya ‘alal falah”. Baru kali ini aku melihat kehidupan yang benar-benar terbalik di kota ini, kota “Daeng”. Hal itu bertambah memalukan dan memilukan karena kehidupan yang diayomi oleh mereka bernama “Panti Asuhan”.
            Kehidupan itulah yang kembali mengurai mimpi impian dan kenyataan. Di rumah lumutan ini anak-anak hidup tanpa beban, kecuali tuntutan perut. Yang satu ini memang pernah menjadi momok ketika seorang anak melesat ke rumah tetangga hanya karena garam dapur. Mungkin karena ini pula anak-anak menjadi liar, seliar rusa yang kembali ke hutan. Lagi-lagi mungkin ada benarnya karena banyak anak yang minggat akhirnya dijemput orang tua mereka. Orang pun berseloroh “katanya panti asuhan”. Selang berapa hari setelah itu lalu datang lagi orang tua yang mengaku sebagai inang mereka. Para tetangga pun kembali menjadi bingung. Akhirnya beberapa dari mereka berujar “bagaimana mau sekolah, kebutuhan perut saja senin kamis, dikira panti ternyata gudang manusia”, ha.ha.ha…….


Ditulis di Makassahttp://www.pro-ilmu.blogspot.comr, 16 Juli 2009
Suatu kritik sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar