Jumat, 27 April 2012

PEMEROLEHAN BAHASA

BAB I
PENDAHULUAN

Sebelum mendiskusikan pandangan kaum Behaviorisme tentang pemerolehan bahasa pertama, ada baiknya terlebih dahulu memahami istilah-istilah berikut ini: bahasa pertama, kedua, asing, dan pemerolehan bahasa pertama. Pemerolehan bahasa pertama terjadi apabila pemelajar, biasanya anak yang sejak semula tanpa bahasa dapat berbahasa. Jadi, bahasa pertama ialah bahasa yang pertama kali dikuasai seseorang. Bahasa kedua ialah bahasa yang dimiliki seseorang sesudah ia menguasai bahasa pertamanya, dan bahasa tersebut digunakan sebagai alat komunikasi berdampingan dengan bahasa pertama. Bahasa kedua tersebut biasanya diperoleh dalam lingkungan sosial tempat bahasa itu digunakan. Sementara itu, istilah bahasa asing digunakan untuk menyatakan bahasa yang diperoleh di dalam lingkungan tempat bahasa tersebut biasanya tidak digunakan (yakni biasanya melalui pembelajaran) dan kalau sudah diperoleh, bahasa tersebut tidak digunakan oleh pemelajar dalam situasi rutin, sehari-hari (Klien, 1986).

Contoh berikut ini memperjelas uraian di atas, coba perhatikan. Ika, seorang anak yang lahir dan tumbuh di lingkungan berbahasa Makassar menguasai untuk pertama kalinya bahasa Makassar. Maka, bahasa pertamanya ialah bahasa Makassar. Kemudian, setelah agak besar ia dapat berbahasa Indonesia, maka bahasa keduanya ialah bahasa Indonesia. Bila kemudian ia dapat berbahasa Bugis, maka bahasa tersebut menjadi bahasa ketiganya, dan seterusnya.

Di Indonesia, pada umumnya, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua masyarakatnya. Namun, di kota-kota besar dan di lingkungan keluarga campuran antarsuku, bahasa pertama berbeda, biasanya bahasa Indonesia adalah bahasa pertama anak-anak di lingkungan tersebut. Sedangkan bahasa Inggris di Indonesia disebut sebagai bahasa asing. Disebut demikian karena bahasa ini datang dari luar dan tidak digunakan oleh masyarakat Indonesia secara umum untuk berkomunikasi sehari-hari. Namun, di Singapura dan Filipina, umpamanya, bahasa Inggris adalah bahasa kedua karena sebagaian besar masyarakat tersebut memperoleh bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dan menggunakannya dalam berkomunikasi seharihari, di rumah, di sekolah, di tempat bekerja dan sebagainya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pemerolehan Bahasa Pertama
Setiap anak yang normal pada sekitar umur lima tahun dapat berkomunikasi dalam bahasa yang digunakan di lingkungannya, walaupun tanpa pembelajaran formal. Dalam usia ini pada umumnya anak-anak telah menguasai system fonologi, sintaksis dan semantik dari bahasa pertamanya, yang juga disebut dengan bahasa ibunya. Penguasaan ini diperolehnya secara bertahap. Mula-mula, selagi bayi dia mengoceh yang biasanya ocehannya tidak dipahami oleh orangtuanya atau orang yang berada di lingkungannya. Sekitar satu tahun, ia dapat mengucapkan kata-kata pertamanya, misalnya “Mama”, “Mamam”, dan “Papa”. Dalam usia ini ujarannya terdiri atas satu kata yang mengekspresikan gagasan yang kompleks dengan makna yang bervariasi tergantung pada konteks. Kata “Mam”, misalnya dapat berarti “Lihat saya sedang makan”, atau “Saya ingin makan”, atau mungkin saja “Ibu sedang makan”, tergantung konteks situasi ketika ujaran itu diucapkan. Tahap berikutnya pada umur kurang lebih dua tahun ia dapat mengkombinasikan dua atau tiga kata dalam bentuk ujaran untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya ataupun untuk menyuruh dan tindakan lainnya. Pada umur tiga tahun kemampuan berbahasanya sangat meningkat dan pada usia kurang lebih lima tahun ia telah mampu menguasai struktur yang kompleks, perbendaharaan katanya berkembang dan kemampuan komunikasinya meningkat.
Ada tiga pandangan utama tentang pemerolehan bahasa pertama. Pandangan pertama yakni teori Behaviorisme yang menyatakan bahwa anak dilahirkan sebagai tabula rasa, papan bersih yang tidak tahu dunia ataupun bahasa dan anak-anak dibentuk oleh lingkungan. Menurut aliran ini pemerolehan bahasa ialah pemerolehan kebiasaan (habits). Pandangan kedua ialah pandangan Nativis yang berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan membawa kemampuan berbahasa dengan dimilikinya Alat Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Device atau disingkat LAD). Pandangan ketiga ialah pandangan kognitif yang beranggapan bahwa anak dilahirkan dengan kemampuan berpikir dan di dalamnya termasuk kemampuan berbahasa, dan kemampuan ini berkembang karena adanya interaksi dengan orang dan dunia sekitarnya. Dalam tulisan ini, yang akan dibahas adalah hanya pandangan Behaviorisme.

B.     Pandangan Behaviorisme terhadap Pemerolehan Bahasa Pertama
Menurut pandangan kaum Behaviorisme bahasa adalah bagian penting dari keseluruhan tingkah laku manusia. Kaum Behaviorisme ini menamakan bahasa sebagai perilaku verbal (verbal behavior). Untuk membangun teori tentang pemerolehan bahasa, para pakar aliran ini memusatkan perhatian mereka pada aspek-aspek bahasa yang kasat mata, yang teramati, sehingga data mereka adalah ujaran-ujaran tersebut. Teori Behaviorisme terhadap pemerolehan bahasa bersumber pada teori-teori pembelajaran Behavioristic (Behaviorisme Learning Theories). Ada dua teori utama yang dikembangkan oleh para pakar Behaviorisme yakni Classical Conditioning dan Operant Conditioning. Penjelasan berikut ini berdasarkan sumber utama dari Angelis dan Martin (1980) dan Clark (1975).

C.    Prinsip-Prinsip Teori Pembelajaran Behaviorisme (Behaviorisme LearningTheory)
Dalam teori Behaviorisme ada tiga konsep penting: rangsangan (stimulus) yang disimbolkan dengan S, tanggapan atau respons (response) dengan simbol R, dan penguatan (reinforcement) dengan simbol P. Istilah stimulus mengacu pada semua hal atau perubahan yang ada dalam lingkungan. Kata-kata atau kalimat dalam tulisan ini adalah contoh dari rangsangan. Stimulus dapat berasal dari luar (external stimulus), misalnya suara keras, suara manusia, ujaran atau sinar dan dapat dari dalam (internal stimulus) misalnya rasa lapar, atau keinginan untuk berbicara. Respons mengacu pada perubahan perilaku yang melibatkan adanya aktivitas yang disebabkan oleh otot dan kelenjar. Sama halnya dengan stimulus, respons bisa berupa respons luar (external) dan respons dalam (internal). Penguatan (reinforcement) adalah peristiwa atau sesuatu yang dianggap sebagaihadiah atau hukuman yang menyebabkan makin besarnya kemungkinan stimulus (S) tertentu menghasilkan respons (R) tertentu, menyebabkan makin besarnya kemungkinan stimulus (S) tertentu menghasilkan respons (R) tertentu.
Belajar dapat digambarkan sebagai pembentukan hubungan antara S dan R. Atau dengan kata lain, belajar adalah kecenderungan S tertentu menghasilkan R tertentu. Prinsip yang menjadi dasar dari pendekatan pembelajaran S-R pada penelaahan perilaku ialah classical conditioning dan operant conditioning.
Kedua prosedur pengkondisian ini mulai dari penelitian pada bagaimana hewan belajar dan diperluas pada pembelajaran bahasa. Prosedur conditioning ini dijadikan dasar untuk program pengajaran bahasa kepada tuna rungu dan tuna grahita. Para pakar psikolog juga mengaplikasikan prinsip-prinsip pengkondisian dan pembelajaran makna dan bentuk-bentuk gramatika.

D.    Teori Classical Conditioning
Classical conditioning yang juga disebut sebagai teori contiguity (keterdekatan dua objek atau lebih tanpa diselingi hal lain) dikembangkan oleh ahli fisiologi Rusia, Ivan Petrovich Pavlov (1894-1936). Dalam mengembangkan teori ini, Pavlov melakukan serangkaian percobaan. Bagaimana percobaan atau eksperimennya? Marilah kita ikuti paparan berikut ini. Dalam ekperimennya ia menunjukkan makanan kepada anjing yang kemudian memakan makanan itu. Setiap kali ditunjukkan makanan, anjing itu mengeluarkan air liur. Tampak bahwa makanan yang di sini disebut unconditional stimulus (UCS) menyebabkan respons (R), keluarnya air liur. Pada percobaan-percobaan berikutnya, bel dibunyikan sebelum makanan ditunjukan kepada anjing. Sesudah beberapa kali percobaan, anjing mulai mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap bunyi bel saja. Dengan kata lain anjing tersebut telah terkondisi (terbiasa) untuk memindahkan (mentransferkan) responnya, dalam hal ini keluarnya air liur dari stimulus adalah wajar, yakni makanan ke stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus) dalam hal ini bunyi bel. Diagram di bawah ini menunjukkan penjelasan di atas.




Unconditioned stimulus (UCS)
(makanan)
                                                                            Keluarnya air liur

Conditioned stimulus (CS)
(Bunyi bel)       

Gambar 1. Classical Conditioning
Sementara itu, stimulus makanan disebut unconditioned stimulus karena stimulus itu dapat menimbulkan respons tanpa adanya pelatihan atau pembelajaran. Stimulus bunyi bel disebut conditioned stimulus atau stimulus terkondisi karena rangsangan ini dapat menimbulkan respons (R) yakni keluarnya air liur setelah latihan berulang kali dengan memasangkannya bersamaan dengan stimulus makanan. Respons yang ditimbulkan oleh conditioned stimulus disebut respons terkondisi (conditioned respons).
Penemuan Pavlov tentang kaitan antara stimulus dan respons ini berpengaruh besar terhadap pandangan para ahli tentang psikologi belajar. Berdasarkan penemuan Pavlov ini, John B. Watson dari Amerika Serikat menciptakan istilah behaviorism. Ia menggunakan teori classical conditioning untuk segala yang bertalian dengan belajar. Dengan proses pengkondisian, dibentuk serangkaian kaitan stimulus-respons, dan tingkah laku yang lebih rumit dipelajari dengan membentuk rangkaian-rangkaian respons.
Dalam lingkup pemerolehan bahasa pertama, classical conditioning ini dapat menjelaskan bagaimana kita belajar makna kata. Seperti diketahui dalam lingkungan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan emosi positif atau negatif. Jika rangsangan-rangsangan bahasa, misalnya kata, frasa, atau kalimat, sering terjadi bersamaan dengan rangsangan-rangsangan lingkungan, maka pada akhirnya rangsangan bahasa tersebut dapat menimbulkan respons emosional walaupun tidak ada rangsangan lingkungan. Untuk jelasnya mari kita pelajari contoh berikut ini.
Yudi yang berumur sekitar 15 bulan akan menarik taplak meja makan. Ibunya segera mengatakan, “Tidak! Tidak!” sambil menepis tangannya dengan harapan Yudi akan menghubungkan sakit di tangannya dengan kata “Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respons makna yang tidak menyenangkan bagi Yudi. Jika hal ini terjadi berulang kali dan respons emosional sudah ditransferkan dari hukuman fisik ke ujaran “Tidak! Tidak!”, maka pembiasaan telah berhasil. Jadi, kata “Tidak” menghasilkan respons emosional, sama halnya dengan bunyi bel menimbulkan respons air liur. Dengan demikian, ibu tersebut telah berhasil mengajarkan makna “Tidak”. Dengan kata lain, Yudi memahami makna “Tidak” yang berarti suatu larangan.

E.     Teori Operant Conditioning
Teori Operant Conditioning dikemukakan oleh tokoh psikologi B.F. Skinner dengan karyanya yang terkenal berjudul Verbal Behavior (1957). Menurut Skinner, perilaku yang berpengaruh pada lingkungan disebut perilaku operant (to operate: menghasilkan efek yang dikehendaki, mempengaruhi). Operant Conditioning merujuk pada pengkondisian atau pembiasaan di mana manusia memberikan respons atau operant (kalimat atau ujaran) tanpa stimulus yang tampak; operant ini dipelajari dengan pembiasaan (conditioning). Dalam proses pemerolehan bahasa pertama peran peniruan (imitation) dianggap sangat penting.
Berdasarkan percobaan-percobaan pada tikus dan burung dara, Skinner berkesimpulan bahwa perilaku atau respons yang diikuti oleh penguat (reinforce) positif cenderung akan diulangi, sedangkan respons-respons yang diikuti oleh hukum atau tidak diikuti oleh penguat cenderung melemah untuk kemudian menghilang.
Dengan demikian, dalam lingkup pembelajaran bahasa, pembelajaran perilaku bahasa yang efektif terdiri atas pemberian respons yang tepat terhadap rangsangan yang ada, dan hubungan antara rangsangan dan tanggapan menjadi kebiasaan karena adanya penguatan (reinforcement). Bila seorang anak mengucapkan sesuatu yang kebetulan sesuai (appropriate) dengan situasi, ibunya atau orang disekitarnya menghadiahinya dengan anggukan, ucapan, senyuman, atau tindakan yang lain yang menunjukkan persetujuan. Hal ini akan mengakibatkan respons yang sama akan terjadi lagi dalam situasi yang sama. Namun, jika ujarannya tidak benar, si ibu tidak mengatakannya. Maka akan kecil kemungkinan terjadinya respons yang sama dalam situasi yang sejenis.
Untuk jelasnya mari kita pelajari contoh sederhana berikut. Jika Tobi mengatakan “Num”, dan diberi air minum, maka dia akan menggunakan kata “Num” lagi bila ia ingin minum. Sebaliknya, bila ia misalnya, mengatakan, “Ta” tanpa diiringi penguatan dari ibunya atau orang di sekitarnya, maka ia cenderung untuk tidak mengucapkan kata tersebut untuk meminta air minum.
Penjelasan di atas selain digunakan untuk menerangkan bagaimana anak menghasilkan ujaran, juga digunakan untuk menjelaskan bagaimana anak memahami ujaran. Jika anak memberi tanggapan dengan benar terhadap rangsangan lisan, maka ia diberi hadiah atau imbalan, misalnya berupa senyuman, ucapan atau pujian. Dengan cara ini, ujaran-ujaran orang dewasa menjadi rangsangan-rangsangan bagi anak untuk menanggapinya. Anak akan menunjukkan bahwa ia memahami ujaran yang didengarnya, dan ia pun mampu menghasilkan wicara yang sesuai dengan situasi.
Bagaimanakah dengan perkembangan sintaksis anak? Dalam perkembangan sintaksis anak, proses pemerolehan berarti generalisasi dari satu situasi ke situasi lain, dan dalam setiap situasi pola-pola linguistik yang benar diperkuat oleh orang-orang dewasa di sekitar anak tersebut. Di lain pihak, pola pola linguistik yang tidak benar tidak diperkuat, dan lambat laun akan hilang dengan sendirinya.

F.     Kritikan-kritikan Terhadap Pandangan Behaviourisme
Telah dikemukakan di muka bahwa menurut pendekatan Behaviorisme, perilaku bahasa dibentuk dengan peniruan-peniruan. Tampaknya ini ada benarnya, mengingat bahasa pertama yang diperoleh anak-anak sama dengan bahasa yang digunakan oleh orang di sekitarnya. Ini tampak dari kenyataan, misalnya, anak yang dilahirkan dan tumbuh di lingkungan yang berbahasa Melayu Manado akan menguasai bahasa Melayu Manado, bukan Melayu Riau ataupun bahasa Jawa.
Namun, faktor peniruan ini banyak diragukan oleh pakar di luar pendekatanan Behaviorisme, khususnya para pakar dari aliran Nativisme. Mereka berpendapat bahwa belajar bahasa terjadi bukan karena meniru. Mari kita pelajari beberapa kritikan mereka terhadap pandangan Behaviorisme beserta dengan  alasan-alasannya. Kritikan-kritikan ini disarikan dari Anglis dan Martin (1980) dan hasil penelitian Clark (1982).

1.      Kaum Nativis berpendapat bahwa ujaran anak bukan tiruan dari apa yang didengarnya dari orang tuanya atau orang di sekitarnya. Anak yang berbahasa Inggris mengucapkan All gone milk tentunya bukan karena ia meniru tuturan orang tuanya. Bahkan mungkin orang tuanyalah yang menirukan ujaran anaknya. Demikian pula, kesalahankesalahan yang dibuat anak bukan berdasarkan tiruan (imitation), karena kesalahan-kesalahan ini tidak diucapkan oleh orang dewasa. Misalnya kalimat We goed to the park, yang diucapkan oleh anak bukanlah yang didengarnya dari orang tua atau orang di sekitarnya.

2.      Berdasarkan kenyataan yang ada, anak-anak dapat membentuk kalimat atau ujaran yang belum pernah mereka dengar. Mereka dapat menyusun kalimat berdasarkan kombinasikombinasi dari kata-kata yang sudah mereka kuasai, tetapi kalimat-kalimat atau ujaranujaran tersebut belum pernah mereka dengar. Jika belajar bahasa hanya berdasarkan peniruan, maka tidaklah mungkin anak dapat menyusun kalimat atau ujaran yang belum pernah mereka dengar.

3.      Anak-anak, apapun bahasa atau ragam bahasa yang dipelajarinya, mempunyai pola perkembangan kemampuan berbahasa yang relatif sama. Hasil penelitian Brown (1970), yang dikutip oleh McNeill (1973), umpamanya, menunjukan bahwa anak-anak dalam memperoleh bahasa Inggris melalui paling tidak dua tahap. Pada tahap I, ujaran anak-anak rata-rata terdiri atas dua morfem, dan ujaran-ujaran mereka terdiri atas kata penuh (content words) terutama kata benda dan kata kerja. Keuniversalan ini tentunya bukan karena tiruan saja, karena anak-anak terpajan (exposed) oleh bahasa atau ragam bahasa yang berbeda.

4.      Hasil-hasil penelitian, misalnya penelitian Eve V. Clark (1982), menunjukkan bahwa anak-anak menciptakan kata-kata atau kalimat yang tidak digunakan oleh orang di sekitarnya. Clark menyebut kemampuan ini sebagai kretivitas leksikal (lexical creativity). Berikut ini beberapa contoh yang diberikannya. Plate-egg dan cup egg untuk fried  egg dan boiled egg, lesonner untuk teacher, salter untuk more saltier lawning untuk moving the lawn; the he’s keying door ketika seorang anak (berumur tiga tahun) melihat orang membuka pintu dengan kunci.

5.      Demikian juga, kaum Nativis meragukan faktor penguatan. Kenyataan menunjukkan bahwa orang tua atau orang di sekitar anak, memberikan penguatan bukan pada ujaran yang berbentuk benar, melainkan pada benar tidaknya informasi yang terkandung dalam ujaran. Contoh yang klasik ialah penelitian Brown dan kawan-kawan (1968) yang dikuti oleh McNeill (1970). (parental approval) diberikan pada benar tidaknya kepunyaan Mickey, maka jawabannya ialah No. Namun, jika anak mengatakan That Mickey’s yang seharusnya That’s Mickey’s, maka orang tuanya menyetujuinya dengan mengatakan, Yes. Jika persetujuan sama dengan penguat, maka persetujuan akan memperbesar kemungkinan terciptanya bentuk-bentuk kalimat yang salah, disamping kalimatkalimat yang benar.










BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam tulisan ini telah dibahas pandangan Behaviorisme terhadap pemerolehan bahasa pertama. Dalam hal ini, kaum Behaviorisme, menekankan pentingnya peniruan dan menyatakan bahwa belajar bahasa melibatkan pembentukan hubungan antara stimulus dan respons dan penguatan. Pembentukan ini terjadi melalui proses pembiasaan (conditioning) dan pengulangan-pengulangan. Dikatakan,karena adanya stimulus internal atau eksternal, anak memberikan respons dengan mengucapkan ujaran tertentu, dan jika ujaran itu benar ia akan menerima penguatan dari orang dewasa di sekelilingnya. Bila hal ini terjadi berulang kali, maka ujaran-ujaran tersebut telah dikuasai.
























DAFTAR PUSTAKA


Hamid, Zulkifley. (1989). Hipotesis nurani dan pemerolehan bahasa pertama, dalam Jurnal Bahasa, Oktober, pp. 770-777

Monks, F.J. Knoers, A.M.P, Haditono, Sri Rahayu. (1992). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagainya. Yogyakarta: Gajah Madda University Press

Purwo, Bambang Kaswanti. (1990). Perkembangan Bahasa Anak Dari Lahir sampai Masa Sekolah, dalam (ed) B.K. Purwo, Pellba 3: Pertemuan linguistik lembaga bahasa Atma Jaya: Ketiga. Yogyakarta: Kanisius

Subyakto, Nababan, Sri Utari. (1992). Psikolingusitik: Suatu pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Klien, Wolfgang. (1986). Second language acquisition. Cambridge: CUP

Angleis, Paul J. dan Martin, Clessen J. , E. Helmut Esan (ed.). (1980). Psycholinguistic: Two viewsLanguage and communication. Columbia: SC: Hornbeam Press, Incorporated

Brown, H. Douglas. (1987). Priciples of language learning and teaching: 2nd Edition. Englewood Cliffs: Prentice Hall Regents

Clark, Eve V, The Young World Maker. A Case Study of Innovations in the Child’s Lexicon,
dalam (eds) E. Wanner dan L.R. Gleitman. (1982). Language acquisition: The state of the art. Cambridge: CUP

Clark, Hebert H dan Clark, Eve V. (1977). Psychology and Language: An antroduction to psychologuistics. New York: Hartcourt Brace Jovanovich

Elliot, Alison J. (1987). Child language. Cambridge: CUP

Clark, Ruth. (1980). Adult Theories, Child Strategies and Their Implecations for the Language Teacher dalam (eds) J.P.B. Allen dan S. Pit Corder, Papers in Applied Linguistics. Oxford: OUP