BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum mendiskusikan
pandangan kaum Behaviorisme tentang pemerolehan bahasa pertama, ada
baiknya terlebih dahulu memahami istilah-istilah berikut ini: bahasa pertama,
kedua, asing, dan pemerolehan bahasa pertama. Pemerolehan bahasa pertama
terjadi apabila pemelajar, biasanya anak yang sejak semula tanpa bahasa dapat
berbahasa. Jadi, bahasa pertama ialah bahasa yang pertama kali dikuasai
seseorang. Bahasa kedua ialah bahasa yang dimiliki seseorang sesudah ia
menguasai bahasa pertamanya, dan bahasa tersebut digunakan sebagai alat
komunikasi berdampingan dengan bahasa pertama. Bahasa kedua tersebut biasanya
diperoleh dalam lingkungan sosial tempat bahasa itu digunakan. Sementara itu,
istilah bahasa asing digunakan untuk menyatakan bahasa yang diperoleh di dalam
lingkungan tempat bahasa tersebut biasanya tidak digunakan (yakni biasanya
melalui pembelajaran) dan kalau sudah diperoleh, bahasa tersebut tidak
digunakan oleh pemelajar dalam situasi rutin, sehari-hari (Klien, 1986).
Contoh berikut ini
memperjelas uraian di atas, coba perhatikan. Ika, seorang anak yang lahir dan
tumbuh di lingkungan berbahasa Makassar menguasai untuk pertama kalinya bahasa Makassar.
Maka, bahasa pertamanya ialah bahasa Makassar. Kemudian, setelah agak besar ia
dapat berbahasa Indonesia, maka bahasa keduanya ialah bahasa Indonesia. Bila
kemudian ia dapat berbahasa Bugis, maka bahasa tersebut menjadi bahasa
ketiganya, dan seterusnya.
Di Indonesia, pada
umumnya, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua masyarakatnya. Namun, di
kota-kota besar dan di lingkungan keluarga campuran antarsuku, bahasa pertama
berbeda, biasanya bahasa Indonesia adalah bahasa pertama anak-anak di
lingkungan tersebut. Sedangkan bahasa Inggris di Indonesia disebut sebagai
bahasa asing. Disebut demikian karena bahasa ini datang dari luar dan tidak
digunakan oleh masyarakat Indonesia secara umum untuk berkomunikasi
sehari-hari. Namun, di Singapura dan Filipina, umpamanya, bahasa Inggris adalah
bahasa kedua karena sebagaian besar masyarakat tersebut memperoleh bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua dan menggunakannya dalam berkomunikasi seharihari,
di rumah, di sekolah, di tempat bekerja dan sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemerolehan
Bahasa Pertama
Setiap anak yang normal
pada sekitar umur lima tahun dapat berkomunikasi dalam bahasa yang digunakan di
lingkungannya, walaupun tanpa pembelajaran formal. Dalam usia ini pada umumnya
anak-anak telah menguasai system fonologi, sintaksis dan semantik dari bahasa
pertamanya, yang juga disebut dengan bahasa ibunya. Penguasaan ini diperolehnya
secara bertahap. Mula-mula, selagi bayi dia mengoceh yang biasanya ocehannya
tidak dipahami oleh orangtuanya atau orang yang berada di lingkungannya.
Sekitar satu tahun, ia dapat mengucapkan kata-kata pertamanya, misalnya “Mama”,
“Mamam”, dan “Papa”. Dalam usia ini ujarannya terdiri atas satu kata yang
mengekspresikan gagasan yang kompleks dengan makna yang bervariasi tergantung
pada konteks. Kata “Mam”, misalnya dapat berarti “Lihat saya sedang makan”, atau
“Saya ingin makan”, atau mungkin saja “Ibu sedang makan”, tergantung konteks
situasi ketika ujaran itu diucapkan. Tahap berikutnya pada umur kurang lebih
dua tahun ia dapat mengkombinasikan dua atau tiga kata dalam bentuk ujaran
untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya ataupun untuk menyuruh dan
tindakan lainnya. Pada umur tiga tahun kemampuan berbahasanya sangat meningkat
dan pada usia kurang lebih lima tahun ia telah mampu menguasai struktur yang
kompleks, perbendaharaan katanya berkembang dan kemampuan komunikasinya
meningkat.
Ada tiga pandangan utama
tentang pemerolehan bahasa pertama. Pandangan pertama yakni teori Behaviorisme
yang menyatakan bahwa anak dilahirkan sebagai tabula rasa, papan bersih
yang tidak tahu dunia ataupun bahasa dan anak-anak dibentuk oleh lingkungan.
Menurut aliran ini pemerolehan bahasa ialah pemerolehan kebiasaan (habits).
Pandangan kedua ialah pandangan Nativis yang berpendapat bahwa anak dilahirkan
dengan membawa kemampuan berbahasa dengan dimilikinya Alat Pemerolehan Bahasa (Language
Acquisition Device atau disingkat LAD). Pandangan ketiga ialah pandangan
kognitif yang beranggapan bahwa anak dilahirkan dengan kemampuan berpikir dan
di dalamnya termasuk kemampuan berbahasa, dan kemampuan ini berkembang karena
adanya interaksi dengan orang dan dunia sekitarnya. Dalam tulisan ini, yang
akan dibahas adalah hanya pandangan Behaviorisme.
B. Pandangan
Behaviorisme terhadap Pemerolehan
Bahasa Pertama
Menurut pandangan kaum Behaviorisme
bahasa adalah bagian penting dari keseluruhan tingkah laku manusia. Kaum Behaviorisme
ini menamakan bahasa sebagai perilaku verbal (verbal behavior).
Untuk membangun teori tentang pemerolehan bahasa, para pakar aliran ini
memusatkan perhatian mereka pada aspek-aspek bahasa yang kasat mata, yang teramati,
sehingga data mereka adalah ujaran-ujaran tersebut. Teori Behaviorisme terhadap
pemerolehan bahasa bersumber pada teori-teori pembelajaran Behavioristic
(Behaviorisme Learning Theories). Ada dua teori utama yang dikembangkan
oleh para pakar Behaviorisme yakni Classical Conditioning dan Operant
Conditioning. Penjelasan berikut ini berdasarkan sumber utama dari
Angelis dan Martin (1980) dan Clark (1975).
C.
Prinsip-Prinsip Teori Pembelajaran Behaviorisme
(Behaviorisme LearningTheory)
Dalam teori Behaviorisme
ada tiga konsep penting: rangsangan (stimulus) yang disimbolkan dengan S,
tanggapan atau respons (response) dengan simbol R, dan penguatan (reinforcement)
dengan simbol P. Istilah stimulus mengacu pada semua hal atau perubahan
yang ada dalam lingkungan. Kata-kata atau kalimat dalam tulisan ini adalah
contoh dari rangsangan. Stimulus dapat berasal dari luar (external stimulus),
misalnya suara keras, suara manusia, ujaran atau sinar dan dapat dari dalam (internal
stimulus) misalnya rasa lapar, atau keinginan untuk berbicara. Respons
mengacu pada perubahan perilaku yang melibatkan adanya aktivitas yang
disebabkan oleh otot dan kelenjar. Sama halnya dengan stimulus, respons bisa
berupa respons luar (external) dan respons dalam (internal). Penguatan
(reinforcement) adalah peristiwa atau sesuatu yang dianggap
sebagaihadiah atau hukuman yang menyebabkan makin besarnya kemungkinan stimulus
(S) tertentu menghasilkan respons (R) tertentu, menyebabkan makin besarnya
kemungkinan stimulus (S) tertentu menghasilkan respons (R) tertentu.
Belajar dapat digambarkan
sebagai pembentukan hubungan antara S dan R. Atau dengan kata lain, belajar
adalah kecenderungan S tertentu menghasilkan R tertentu. Prinsip yang menjadi
dasar dari pendekatan pembelajaran S-R pada penelaahan perilaku ialah classical
conditioning dan operant conditioning.
Kedua prosedur
pengkondisian ini mulai dari penelitian pada bagaimana hewan belajar dan
diperluas pada pembelajaran bahasa. Prosedur conditioning ini dijadikan
dasar untuk program pengajaran bahasa kepada tuna rungu dan tuna grahita. Para
pakar psikolog juga mengaplikasikan prinsip-prinsip pengkondisian dan
pembelajaran makna dan bentuk-bentuk gramatika.
D. Teori Classical Conditioning
Classical conditioning yang
juga disebut sebagai teori contiguity (keterdekatan dua objek atau lebih
tanpa diselingi hal lain) dikembangkan oleh ahli fisiologi Rusia, Ivan
Petrovich Pavlov (1894-1936). Dalam mengembangkan teori ini, Pavlov melakukan
serangkaian percobaan. Bagaimana percobaan atau eksperimennya? Marilah kita
ikuti paparan berikut ini. Dalam ekperimennya ia menunjukkan makanan kepada
anjing yang kemudian memakan makanan itu. Setiap kali ditunjukkan makanan,
anjing itu mengeluarkan air liur. Tampak bahwa makanan yang di sini disebut unconditional
stimulus (UCS) menyebabkan respons (R), keluarnya air liur. Pada
percobaan-percobaan berikutnya, bel dibunyikan sebelum makanan ditunjukan
kepada anjing. Sesudah beberapa kali percobaan, anjing mulai mengeluarkan air
liur sebagai respons terhadap bunyi bel saja. Dengan kata lain anjing tersebut
telah terkondisi (terbiasa) untuk memindahkan (mentransferkan) responnya, dalam
hal ini keluarnya air liur dari stimulus adalah wajar, yakni makanan ke
stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus) dalam hal ini bunyi bel.
Diagram di bawah ini menunjukkan penjelasan di atas.
Unconditioned stimulus (UCS)
(makanan)
Keluarnya air liur
Conditioned stimulus (CS)
(Bunyi bel)
Gambar 1. Classical Conditioning
Sementara itu, stimulus
makanan disebut unconditioned stimulus karena stimulus itu dapat
menimbulkan respons tanpa adanya pelatihan atau pembelajaran. Stimulus bunyi
bel disebut conditioned stimulus atau stimulus terkondisi karena
rangsangan ini dapat menimbulkan respons (R) yakni keluarnya air liur setelah latihan
berulang kali dengan memasangkannya bersamaan dengan stimulus makanan. Respons
yang ditimbulkan oleh conditioned stimulus disebut respons terkondisi (conditioned
respons).
Penemuan Pavlov tentang
kaitan antara stimulus dan respons ini berpengaruh besar terhadap pandangan
para ahli tentang psikologi belajar. Berdasarkan penemuan Pavlov ini, John B.
Watson dari Amerika Serikat menciptakan istilah behaviorism. Ia
menggunakan teori classical conditioning untuk segala yang
bertalian dengan belajar. Dengan proses pengkondisian, dibentuk serangkaian
kaitan stimulus-respons, dan tingkah laku yang lebih rumit dipelajari dengan
membentuk rangkaian-rangkaian respons.
Dalam lingkup pemerolehan
bahasa pertama, classical conditioning ini dapat menjelaskan bagaimana
kita belajar makna kata. Seperti diketahui dalam lingkungan banyak rangsangan
yang dapat menimbulkan emosi positif atau negatif. Jika rangsangan-rangsangan
bahasa, misalnya kata, frasa, atau kalimat, sering terjadi bersamaan dengan
rangsangan-rangsangan lingkungan, maka pada akhirnya rangsangan bahasa tersebut
dapat menimbulkan respons emosional walaupun tidak ada rangsangan lingkungan.
Untuk jelasnya mari kita pelajari contoh berikut ini.
Yudi yang berumur sekitar
15 bulan akan menarik taplak meja makan. Ibunya segera mengatakan, “Tidak!
Tidak!” sambil menepis tangannya dengan harapan Yudi akan menghubungkan sakit
di tangannya dengan kata “Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respons makna yang
tidak menyenangkan bagi Yudi. Jika hal ini terjadi berulang kali dan respons
emosional sudah ditransferkan dari hukuman fisik ke ujaran “Tidak! Tidak!”,
maka pembiasaan telah berhasil. Jadi, kata “Tidak” menghasilkan respons
emosional, sama halnya dengan bunyi bel menimbulkan respons air liur. Dengan
demikian, ibu tersebut telah berhasil mengajarkan makna “Tidak”. Dengan kata
lain, Yudi memahami makna “Tidak” yang berarti suatu larangan.
E. Teori
Operant Conditioning
Teori Operant
Conditioning dikemukakan oleh tokoh psikologi B.F. Skinner dengan karyanya yang
terkenal berjudul Verbal Behavior (1957). Menurut Skinner, perilaku yang
berpengaruh pada lingkungan disebut perilaku operant (to operate:
menghasilkan efek yang dikehendaki, mempengaruhi). Operant Conditioning merujuk
pada pengkondisian atau pembiasaan di mana manusia memberikan respons atau
operant (kalimat atau ujaran) tanpa stimulus yang tampak; operant ini
dipelajari dengan pembiasaan (conditioning). Dalam proses pemerolehan
bahasa pertama peran peniruan (imitation) dianggap sangat penting.
Berdasarkan percobaan-percobaan
pada tikus dan burung dara, Skinner berkesimpulan bahwa perilaku atau respons
yang diikuti oleh penguat (reinforce) positif cenderung akan diulangi,
sedangkan respons-respons yang diikuti oleh hukum atau tidak diikuti oleh
penguat cenderung melemah untuk kemudian menghilang.
Dengan demikian, dalam
lingkup pembelajaran bahasa, pembelajaran perilaku bahasa yang efektif terdiri
atas pemberian respons yang tepat terhadap rangsangan yang ada, dan hubungan
antara rangsangan dan tanggapan menjadi kebiasaan karena adanya penguatan (reinforcement).
Bila seorang anak mengucapkan sesuatu yang kebetulan sesuai (appropriate)
dengan situasi, ibunya atau orang disekitarnya menghadiahinya dengan anggukan,
ucapan, senyuman, atau tindakan yang lain yang menunjukkan persetujuan. Hal ini
akan mengakibatkan respons yang sama akan terjadi lagi dalam situasi yang sama.
Namun, jika ujarannya tidak benar, si ibu tidak mengatakannya. Maka akan kecil
kemungkinan terjadinya respons yang sama dalam situasi yang sejenis.
Untuk jelasnya mari kita
pelajari contoh sederhana berikut. Jika Tobi mengatakan “Num”, dan diberi air
minum, maka dia akan menggunakan kata “Num” lagi bila ia ingin minum.
Sebaliknya, bila ia misalnya, mengatakan, “Ta” tanpa diiringi penguatan dari
ibunya atau orang di sekitarnya, maka ia cenderung untuk tidak mengucapkan kata
tersebut untuk meminta air minum.
Penjelasan di atas selain
digunakan untuk menerangkan bagaimana anak menghasilkan ujaran, juga digunakan
untuk menjelaskan bagaimana anak memahami ujaran. Jika anak memberi tanggapan
dengan benar terhadap rangsangan lisan, maka ia diberi hadiah atau imbalan,
misalnya berupa senyuman, ucapan atau pujian. Dengan cara ini, ujaran-ujaran
orang dewasa menjadi rangsangan-rangsangan bagi anak untuk menanggapinya. Anak
akan menunjukkan bahwa ia memahami ujaran yang didengarnya, dan ia pun mampu
menghasilkan wicara yang sesuai dengan situasi.
Bagaimanakah dengan
perkembangan sintaksis anak? Dalam perkembangan sintaksis anak, proses
pemerolehan berarti generalisasi dari satu situasi ke situasi lain, dan dalam
setiap situasi pola-pola linguistik yang benar diperkuat oleh orang-orang
dewasa di sekitar anak tersebut. Di lain pihak, pola pola linguistik yang tidak
benar tidak diperkuat, dan lambat laun akan hilang dengan sendirinya.
F. Kritikan-kritikan
Terhadap Pandangan Behaviourisme
Telah dikemukakan di muka
bahwa menurut pendekatan Behaviorisme, perilaku bahasa dibentuk dengan
peniruan-peniruan. Tampaknya ini ada benarnya, mengingat bahasa pertama yang
diperoleh anak-anak sama dengan bahasa yang digunakan oleh orang di sekitarnya.
Ini tampak dari kenyataan, misalnya, anak yang dilahirkan dan tumbuh di
lingkungan yang berbahasa Melayu Manado akan menguasai bahasa Melayu Manado,
bukan Melayu Riau ataupun bahasa Jawa.
Namun, faktor peniruan ini
banyak diragukan oleh pakar di luar pendekatanan Behaviorisme, khususnya
para pakar dari aliran Nativisme. Mereka berpendapat bahwa belajar
bahasa terjadi bukan karena meniru. Mari kita pelajari beberapa kritikan mereka
terhadap pandangan Behaviorisme beserta dengan alasan-alasannya. Kritikan-kritikan ini
disarikan dari Anglis dan Martin (1980) dan hasil penelitian Clark (1982).
1.
Kaum Nativis berpendapat bahwa ujaran anak bukan tiruan
dari apa yang didengarnya dari orang tuanya atau orang di sekitarnya. Anak yang
berbahasa Inggris mengucapkan All gone milk tentunya bukan karena ia
meniru tuturan orang tuanya. Bahkan mungkin orang tuanyalah yang menirukan
ujaran anaknya. Demikian pula, kesalahankesalahan yang dibuat anak bukan
berdasarkan tiruan (imitation), karena kesalahan-kesalahan ini tidak
diucapkan oleh orang dewasa. Misalnya kalimat We goed to the park,
yang diucapkan oleh anak bukanlah yang didengarnya dari orang tua atau orang di
sekitarnya.
2.
Berdasarkan kenyataan yang ada, anak-anak dapat
membentuk kalimat atau ujaran yang belum pernah mereka dengar. Mereka dapat
menyusun kalimat berdasarkan kombinasikombinasi dari kata-kata yang sudah
mereka kuasai, tetapi kalimat-kalimat atau ujaranujaran tersebut belum pernah
mereka dengar. Jika belajar bahasa hanya berdasarkan peniruan, maka tidaklah
mungkin anak dapat menyusun kalimat atau ujaran yang belum pernah mereka
dengar.
3.
Anak-anak, apapun bahasa atau ragam bahasa yang
dipelajarinya, mempunyai pola perkembangan kemampuan berbahasa yang relatif
sama. Hasil penelitian Brown (1970), yang dikutip oleh McNeill (1973),
umpamanya, menunjukan bahwa anak-anak dalam memperoleh bahasa Inggris melalui
paling tidak dua tahap. Pada tahap I, ujaran anak-anak rata-rata terdiri atas
dua morfem, dan ujaran-ujaran mereka terdiri atas kata penuh (content words)
terutama kata benda dan kata kerja. Keuniversalan ini tentunya bukan karena
tiruan saja, karena anak-anak terpajan (exposed) oleh bahasa atau ragam
bahasa yang berbeda.
4.
Hasil-hasil penelitian, misalnya penelitian Eve V.
Clark (1982), menunjukkan bahwa anak-anak menciptakan kata-kata atau kalimat
yang tidak digunakan oleh orang di sekitarnya. Clark menyebut kemampuan ini
sebagai kretivitas leksikal (lexical creativity). Berikut ini beberapa
contoh yang diberikannya. Plate-egg dan cup egg untuk fried egg dan boiled egg, lesonner untuk
teacher, salter untuk more saltier lawning untuk moving
the lawn; the he’s keying door ketika seorang anak (berumur
tiga tahun) melihat orang membuka pintu dengan kunci.
5.
Demikian juga, kaum Nativis meragukan faktor penguatan.
Kenyataan menunjukkan bahwa orang tua atau orang di sekitar anak, memberikan
penguatan bukan pada ujaran yang berbentuk benar, melainkan pada benar tidaknya
informasi yang terkandung dalam ujaran. Contoh yang klasik ialah penelitian
Brown dan kawan-kawan (1968) yang dikuti oleh McNeill (1970). (parental
approval) diberikan pada benar tidaknya kepunyaan Mickey, maka jawabannya
ialah No. Namun, jika anak mengatakan That Mickey’s yang
seharusnya That’s Mickey’s, maka orang tuanya menyetujuinya dengan
mengatakan, Yes. Jika persetujuan sama dengan penguat, maka persetujuan
akan memperbesar kemungkinan terciptanya bentuk-bentuk kalimat yang salah,
disamping kalimatkalimat yang benar.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam tulisan ini telah
dibahas pandangan Behaviorisme terhadap pemerolehan bahasa pertama. Dalam hal
ini, kaum Behaviorisme, menekankan pentingnya peniruan dan menyatakan bahwa
belajar bahasa melibatkan pembentukan hubungan antara stimulus dan respons dan
penguatan. Pembentukan ini terjadi melalui proses pembiasaan (conditioning) dan
pengulangan-pengulangan. Dikatakan,karena adanya stimulus internal atau
eksternal, anak memberikan respons dengan mengucapkan ujaran tertentu, dan jika
ujaran itu benar ia akan menerima penguatan dari orang dewasa di sekelilingnya.
Bila hal ini terjadi berulang kali, maka ujaran-ujaran tersebut telah dikuasai.
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, Zulkifley. (1989). Hipotesis nurani dan
pemerolehan bahasa pertama, dalam Jurnal Bahasa, Oktober, pp.
770-777
Monks, F.J. Knoers, A.M.P, Haditono, Sri Rahayu. (1992). Psikologi
perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagainya. Yogyakarta: Gajah
Madda University Press
Purwo, Bambang Kaswanti. (1990). Perkembangan Bahasa Anak
Dari Lahir sampai Masa Sekolah, dalam (ed) B.K. Purwo, Pellba 3: Pertemuan
linguistik lembaga bahasa Atma Jaya: Ketiga. Yogyakarta: Kanisius
Subyakto, Nababan, Sri Utari. (1992). Psikolingusitik:
Suatu pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Klien, Wolfgang. (1986). Second language acquisition.
Cambridge: CUP
Angleis, Paul J. dan Martin, Clessen J. , E. Helmut Esan
(ed.). (1980). Psycholinguistic: Two viewsLanguage and communication.
Columbia: SC: Hornbeam Press, Incorporated
Brown, H. Douglas. (1987). Priciples of language
learning and teaching: 2nd Edition. Englewood Cliffs: Prentice Hall
Regents
Clark, Eve V, The Young World Maker. A Case Study of
Innovations in the Child’s Lexicon,
dalam (eds) E. Wanner dan L.R. Gleitman. (1982). Language
acquisition: The state of the art. Cambridge: CUP
Clark, Hebert H dan Clark, Eve V. (1977). Psychology
and Language: An antroduction to psychologuistics. New York: Hartcourt
Brace Jovanovich
Elliot, Alison J. (1987). Child language. Cambridge:
CUP